BY: YIYIN N HEART
…………………………………………………………………………………….
“Operasi plastic wajah saya, dokter?” Juminah dengan wajah mulai memerah melepaskan ciuman dokter itu. “Apakah Bu Djatmiko menyuruh mengubah wajah saya menjadi mengerikan atau bahkan mau dibuat cacat?” Juminah mulai keluar keringat dingin ketika memahami ucapan dokter itu.
“Ambar….,” dokter itu menghela napas, kemudian ia mulai membuka kancing atas bajunya. Tersembulah sesuatu di balik branya. Tangan Juminah dituntun untuk memijat-mijat dua buah ranum itu.
“Tenanglah, dalam perjanjianku dengan Bu Djatmiko adalah aku harus menghilangkan dirimu sebagai Juminah hingga tak seorang pun di dunia ini akan mengenalimu lagi termasuk ibumu atau bahkan bu Djatmiko sendiri!” dokter itu mulai menyerang bagian di dalam bra Juminah. Bibirnya dengan lincah mengisap sesuatu di balik bra itu.
“Jelaskan dokter apa yang diperintahkan Bu Djatmiko dengan wajah saya?” ujar Juminah dengan tubuh lebih pasrah dan rileks.
“Kau tidak usah ketakutan begitu, Ambar! Aku tidak akan menyakitimu dengan operasi plastikku…. ,” dokter itu seraya menyuruh Juminah mengisap dua buah ranum itu. Juminah masih belum melakukannya.
“Ayolah Ambar……,” napas dokter itu ngos-ngosan…., “Aku adalah dokter operasi yang akan menanganimu… Kau harus melayaniku dengan sebaik-baiknya jika tidak ingin dibuat cacat….,” ucap dokter itu yang ternyata seorang wanita lesbian. Juminah memejamkan mata ia akhirnya mengikuti dokter itu….. Ia berusaha pasrah pada apapun yang terjadi. Apalagi mengingat ancaman Bu Djatmiko yang mengancam akan membunuh ibunya jika ia menghindar dari proses pengubahan jati dirinya ini.
Dokter itu jari-jemarinya secara atraktif menggerayangi bagian-bagian sensitive di dada Juminah, seorang gadis perawan tingting yang selama ini belum pernah disentuh laki-laki. Untuk pertama kalinya ia mulai merasakan sentuhan jari itu menelusup ke sela-sela dada Juminah yang terlindungi bra…. Saat itu Juminah merasa amat risih. Ingin rasanya ia mengelak. Tapi ia tak berdaya. Tubuhnya menjadi lemas seketika. Dadanya berdebar tak menentu menahan berbagai dilemma pikiran yang tidak jelas tentang wanita lesbian ini. Ya, lagi-lagi hidup tak memberinya pilihan. Hidup tak memberinya alternative. Mengikuti, atau kematian dia dan ibunya yang harus diterima?
“Aku mencintaimu, Ambar. Bahkan sejak pandangan pertama dadaku bergetar. Aku berjanji akan membuat wajahmu jauh lebih cantik setelah operasi nanti. Dan kau akan kujadikan teman hidupku untuk selamanya….,” dokter itu mendekatkan wajahnya semakin dekat. Lagi-lagi bibirnya yang bergetar perlahan melumat bibir Juminah. Juminah yang sebenarnya sangat ketakutan terpaksa diam untuk kesekian kalinya membiarkan semuanya terjadi. Perlahan Juminah dituntun dan diajari memuaskan nafsu lesbinya. Tubuh dokter itu bagai belut yang kian membesut. Sementara Juminah alias Ambaratih perlahan semakin rileks mengikuti besutan belut itu. Tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah dan perlahan larut dan menikmatinya.
“Ambar, aku sudah membuat sampel wajah untukmu. Tentu saja berdasarkan garis tulang pipi, dagu dan lainnya. Ini gambar wajahmu setelah dioperasi nanti. Prinsifnya aku tidak membuat perubahan total, hanya aku mengubah sedikit bagian hidung, rahang, dan pelipismu. Nah, nanti gambarannya akan seperti ini….,” dokter wanita itu memperlihatkan sample wajah yang sudah didesainnya.
“Wajahku akan dibuat menjadi wajah orang Barat seperti ini, dokter?”
“Mulai sekarang panggil aku, Herlin….,” ucap dokter wanita itu menyebutkan namanya seraya mendaratkan ciuman mesranya ke bibir Ambar alias Juminah. Ambar mengangguk.
“Gimana? Kau siap menjalani tahapan operasi plastiknya?” dokter Herlin mengangkat wajah Ambar dengan suara berbisik, “Aku akan menjadi dokter spesialismu sekaligus akan menjadi teman hidupmu, ambar…. Kau bersedia?” bisik dokter Herlin lagi tak lepas dari sikap mesranya. Ambar hanya menyunggingkan senyum lembutnya. Sebuah senyum kepasrahan atas segala nasibnya. Dokter Herlin tak kuasa menyaksikan senyum Ambar, ia langsung melumatkan bibirnya. Ambar yang pasrah berusaha menikmati ciuman itu bahkan membalasnya. Ia sadar betul, bahwa sedikit saja dokter Herlin ini kecewa, akan berbuah kegagalan dalam operasi plastic terhadap wajahya. Dengan pertimbangan itulah, Ambar berusaha untuk menuntaskan nafsu birahi dari dokter lesbian itu dengan sandiwara sesempurna mungkin.*